DENPASAR, BUSERJATIM.COM GROUP – Hari Raya Galungan semakin dekat, namun di balik persiapan umat yang penuh kesucian, ada isak yang tak terdengar dari penjaga laut: penyu hijau. Dugaan praktik jual beli dan penyembelihan penyu yang dilindungi kembali mengemuka, seakan merajalela tanpa tersentuh hukum.
Informasi lapangan menyebut, para pelaku kerap berlindung di balik alasan kepentingan upacara adat dan bahkan mengaku memiliki “surat izin”. Padahal, apa pun dalihnya—menangkap, membunuh, apalagi memperdagangkan penyu hijau—tetap merupakan pelanggaran hukum dan bentuk pengkhianatan terhadap alam.
Nama seorang ketua penguyuban berinisial AY, yang disebut-sebut sudah lama bergerak di kawasan Serangan, Denpasar Selatan, kembali mencuat. Kelompok ini diduga telah menjadi pemain lama, bahkan disebut sudah ‘diatensi’ oleh aparat penegak hukum. Namun aktivitas mereka seolah tetap berjalan mulus.
Modus operandi yang terungkap mengiris hati. Penyu-penyu yang didatangkan dari luar Pulau Bali dibawa menggunakan perahu besar. Saat tiba di sekitar perairan Serangan atau Benoa, muatan hidup itu dipindahkan ke perahu-perahu kecil, lalu dibawa ke tepi pantai. Di sanalah mobil pickup telah menunggu, mengangkut satwa dilindungi itu ke lokasi jagal di area Pemelisan dan Serangan.
Di tempat itulah cerita pilu berakhir. Penyu-penyu itu dibunuh, dagingnya dipotong, lalu dijual kepada masyarakat. Aktivitas yang diduga berlangsung siang maupun malam, nyaris tanpa ketakutan, seakan nyawa satwa purba ini tak pernah berarti.
Menjelang Galungan, saat umat memohon keseimbangan alam dan kesejukan jiwa, ironi ini terasa begitu dalam. Di satu sisi manusia memohon restu, di sisi lain alam sedang memohon perlindungan. Dan penyu-penyu itu, yang seharusnya diwariskan kepada anak cucu, justru hilang nyawanya sebelum kebijaksanaan sempat turun tangan.
















